TUHAN MENYEMPURNAKKAN KETIDAKSEMPURNAAN KITA

Para suster yang terkasih,

Baru saja kita menghantar ketujuh saudari kita beserah setia kekal, melalui doa dan bentuk dukungan lainnya. Setiap kali kita mengikuti acara seperti ini, kita ikut diperbaharui, diteguhkan, disegarkan, dan disadarkan kembali akan makna panggilan kita.

Panggilan hidup yang semula kita pilih secra merdeka, pada perjalanan selanjutnya tidak mustahil lambat laun menjadi kering, kabur, dan tidak menarik lagi bila tidak kita pelihara sungguh – sungguh.Kesembronoan kita sendiri akhirnya kita menjadi lengah dan hanyut terhadap tawaran – tawaran yang menawarkan nilai – nilai yang bertentangan dengan nilai – nilai yang kita hidupi.Tawaran yang mestinya merupakan tantangan yang harus kita sikapi secara selektif dan deskretif, justru kita ikuti. Keengganan kita mengolah hidup membuat kita  tidak merdeka. Kaul – kaul yang semestinya membebaskan, justru dirasa membelenggu sehingga hidup menjadi berat, hampa dan tak bermakna.

Dalam hal ini kita boleh bercermin pada induk ayam yang melindungi anak – anaknya yang masih kecil – kecil dan lemah yang baru menetas. Demikian halnya dengan anjing betina yang baru saja beranak, akan menjadi lebih galak dari biasanya. Kalau kita perhatikan, kedua binatang ini punya kesamaan dalam hal melindungi anaknya, yaitu “ menyerang,” induk ayam dengan cara nladung yakni menyerang dengan melebarkan sayapnya, sedangkan induk anjing dengan menggonggong kuat – kuat sambil mengejar bahkan menggigit. Siapapun yang mendekat merupakan ancaman bagi keselamatan anaknya karena merasa “tidak aman,“ maka menyerang.

Demikian juga dengan kita, kita pun punya “anjing – anjing kecil” atau “kuthuk” yang selalu ingin kita linungi dan biarkan hidup, tak seorang pun boleh mengusiknya.Itulah yang membuat hidup kita tidak merdeka, tidak lepas bebas karena selalu merasa tidak aman maka menjadi reaktif.Bila ingin hidup merdeka, tak bisa ditawar-tawar lagi, mau tidak mau “HARUS” melepaskan topeng-topeng dan tameng-tameng perlindungan diri.Berani “ditelanjangi” dan “menelanjangi” diri dihadapan Tuhan. Dengan demikian tidak akan berpura-pura atau bermain-main lagi dihadapan Dia yang memanggil kita karena bagi Tuhan tak ada yang bisa kita sembunyikan (Mzm 139).

Santa Theresia mengajarkan kepada kita bahwa apapun yang dilakukannya semata-mata hanyalah untuk menyenangkan Yesus. Oleh karena itu, Santa Theresia punya cara pandang lain terhadap penderitaan dan kerapuhan dirinya yang oleh kebanyakan orang ditolak dan dihindari. Melalui korban-korban kecil  yang ia alami dalam hidup sehari-hari, ia mempersembahkan cintanya kepada Yesus. Kebalikkan dengan banyak orang, penderitaan menjadi alasan untuk mengeluh akan banyak hal kerapuhan diri menjadi alasan untuk  mengeluh akan banyak hal kerapuhan diri menjadi alasan untuk tidak siap menerima tugas perutusan tertentu dan bertindak minimalis. Dengan demikian akan semakin menjadi kerdil. Dalam kerapuhan dan ketidaksempurnaan dirinya, Santa Theresia percaya bahwa didalam-Nya Rahmat Tuhan bekerja.Dari situlah iman semakin tumbuh dan berkembang.Jika demikian maka semboyan “Pada-Mu ya Tuhan aku berharap,” sungguh-sungguh menjadi kekuatan dalam menjalani peziarahan hidup panggilan terwujud dalam kesetiaan. Kita memaknai hidup yang kita jalani sehari – hari bersama yang lain.

Like this article?

Share on facebook
Share on Facebook
Share on twitter
Share on Twitter
Share on linkedin
Share on Linkdin
Share on pinterest
Share on Pinterest

Leave a comment