Kenangan di Masa Postulat
Srimpen Kenya kinasih adalah tarian Jawa, khas Kongregasi Abdi Kristus. Saat Postulan, merupakan kali pertamanya aku belajar dan menampilkan tarian Jawa.”Apa aku bisa?”, pertanyaan ini muncul dalam benakku. Ada perasaan minder dan tidak percaya diri saat berlatih. Melihat temanku yang sudah luwes menarikan tarian Jawa, ya… jujur aja perasaanku waktu itu ingin tidak ikut dan biarlah temanku aja yang tampil.
Proses latihan juga tidak semulus jalan tol.. Perbedaan pendapat, perdebatan saat menetukan koreografi, perasaan diamana ‘aku yang paling tau’ itu semua muncul dan berkumpul menjadi satu, dan sudah pasti akam mengganggu suasana ‘hati’ dan suasana saat ‘latihan’ waktu itu
Dalam situasi seperti itu, masing-masing dari kami seperti diuji (kesabaran, kedewasaan). Perbedaan itu membuat kami masing-masing semakin kompak untuk berlatih dan menghasilkan yang terbaik. Aku pribadi yang masih dalam proses belajar, menjadi tantangan tersendiri untuk menghadapi pro-kontra saat berlatih, bagaiman aku harus bisa rendah hati untuk menerima masukan orang lain. Terkadang ada masa dimana sulit unutk menerima masukan tersebut. Saat proses latihan berlangsung terus-menerus dalam beberapa waktu, perasaanku di awal dan berakhirnya proses latihan itupun ada perbedaan yang aku rasakan. Awal dimana aku merasa ’tidak lagi memiliki minat untuk berlatih’, tetapi karena dukungan para Suster yang kudapatkan menjadi semangat tersendiri untukku agar berlatih dengan giat.
Aku coba merefleksikan hal ini.. Aku rasa Tuhan memberiku Rahmat untuk talenta ini, supaya aku bisa menari tarian apapun… Hal ini juga jugalah membuatku semangat untuk mengikuti proses latihan. Sampai pada saatnya kami tampil menarikan tarian ‘Srimpen Kenya Kinasih’. Tarian ini berhasil kamintampilkan dengan sangat baik. Beberapa tamu yang datang sampai berdecak kagum.
Bagiku ini adalah pengalaman yang luar biasa. Dihadapkan dengan pribadi yang berlatar belakang berbeda denganku, diajak untuk bisa kompak dalam mempelajari hal yang sama dengan perspektif yang pasti berbeda-beda dari masing-masing pribadi, yang justru ternyata semakin menguatkan persaudaraan dan kekompakan kami.
Perdebatan dan perselisihan yang terjadi awalnya memang membuat suasana menjadi tidak baik, tetapi dari situ kami masing-masing belajar dan mengerti bagaiman caranya untuk saling memahami satu sama lain, belajar untuk tidak larut dalam ‘keegoisan’ diri sendiri yang imbasnya adalah ‘kerenggangan’.
“Adanya perbedaan bukan untuk dijadikan sesuatu hal untuk mangambil ‘jarak’, justru dari perbedaan itulah ada rasa ‘kesatuan’ yang tercipta”….
Sr. M. Gisela, AK